Jumat, 30 April 2010

Seputar rahasia wali Allah



Seputar rahasia wali Allah


ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون لهم البشرى في الحياة الدنيا وفي الآخرة لا تبديل لكلمات الله ذلك هو الفوز العظيم

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.(Q.S. Yunus ) 62-64)


Begitulah penegasan Allah tentang hakekat jiwa para wali, bahwa mereka tidak akan dirundung takut dan sedih. Tak heran bila kita melihat perjalanan hidup para wali sanga dan para wali jaman mutakhir, semisal KH Moch. Cholil Bangkalan, KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Chamin Jasuli (Gus Mik) dan beberapa auliya’ lainnya, mereka tidak kenal rasa takut dan sedih, sebab hidup dan mati mereka memang untuk dan bagi Allah semata. Hanya saja, bagaimanapun dunia wali adalah dunia penuh rahasia.

Terkait dengan rahasia wali Allah itu, Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali menulis sebuah cerita dalam Mukasayafat Al-Qulub. Alkisah, seorang bangsawan berjalan jalan di pasar budak. Matanya tertarik pada seorang budak bertubuh kekar. Lalu ia bertanya kepada budak itu, “Maukah kau bekerja untukku? Aku lihat kau mempunyai keterampilan yang aku butuhkan”. Dengan tenang budak itu menjawab, “ Aku mau bekerja untuk siapapun dengan dua syarat.” “Apa itu syaratmu anak muda?”, tanya sang bangsawan penasaran. “Dua syaratku adalah : pertama, aku hanya bekerja siang hari, jangan suruh aku bekerja malam hari dan kedua, aku tidak mau tinggal satu rumah denganmu, beri aku tempat tinggal yang lain.” Mendengar ini, timbul rasa penasaran di hati bangsawan, ia pun berniat untuk mempekerjakan budak itu, apalagi si budak memenuhi kriterianya.

Singkat cerita dibawalah budak itu ke rumah sang bangsawan. Ia diizinkan untuk tinggal di sebuah gubuk di sebelah rumah mewah bangsawan. Lalu dimulailah hari-hari sang budak bekerja bagi majikan barunya. Segala sesuatu berjalan apa adanya. Si budak bekerja di siang hari menjalankan tugas tugasnya sampai majikannya sangat puas terhadapnya. Ingin rasanya majikan itu memintanya kerja juga di malam hari walaupun hanya untuk pekerjaan ringan, tetapi ia teringat akan syarat pertama si budak. Dan ia merasa berkecukupan dengan kerja baik si budak itu pada siang hari.

Semuanya berjalan lancar sampai pada suatu saat ketika istri si bangsawan merasa ingin memberi hadiah atas kerja keras budak itu. Tanpa sepengetahuan suaminya, malam hari istri bangsawan itu membawakan sesuatu buat si budak. Ia menyelinap masuk ke dalam gubuk. Ia terkejut manakala menemukan budak itu telungkup sujud. Di atasnya bergayut lingkaran putih bercahaya.

Melihat ini, istri bangsawan segera berlari menemui suaminya dan berkata, “Wahai suamiku, sesungguhnya budak itu adalah seorang wali Allah !”. Dengan segera pasangan suami istri itu bergegas menemui si budak. Apa jawab budak itu ketika bertemu mereka ? Ia hanya menjawab singkat, “Bukankah sudah aku minta agar kalian tidak menggangguku di malam hari ?” Lalu ia menengadahkan tangannya ke langit seraya menggumankan sebuah syair yang artinya : “Wahai pemilik rahasia, sesungguhnya rahasia ini sudah terungkap, maka tak kuinginkan lagi hidup ini setelah rahasia ini tersingkap”. Tak lama setelah membacakan syair ini, si budak pun sujud dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, meninggalkan suami istri itu dalam keheranan.

Cerita dari Imam Ghazali itu mengantarkan kita kepada beberapa hal, diantaranya bahwa kita sebagai manusia biasa tidak mengetahui begitu saja bahwa seseorang adalah wali Allah dan seseorang yang lain bukan . Menurut para sufi, la ya’riful-wali illa al-wali, tidak akan mengetahui seorang wali selain wali Allah yang lainnya.

Bagiamana jika wali Allah sakit ?
Suatu hari aku berziarah kepada Guruku. Saat itu Beliau sedang terbaring di opname dirumah sakit. Bersyukur sekali dalam kedaan darurat aku di izinkan untuk langsung bertemu Beliau. Aku masih ingat saat itu aku menangis lama melihat Guruku yang selama ini gagah dan sehat terbaring lemah di kamar rumah sakit. Aku masuk kekamar dengan pelan agar tidak mengganggu istrahat Beliau. Beliau melirik ke arahku dan berkata:
Kapan kau datang?
Baru 1 jam yang lalu Guru
Kemudian Beliau menatap langit-langit kamar seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak sempat keluar dari mulut Beliau. Dalam hatiku berkata, bagaimana mungkin seorang wali Allah bisa sakit, padahal segala jenis penyakit sembuh berkat doa dan syafaat Beliau. Saat aku sedang mengucapkan itu dalam hati, kemudia Beliau menoleh kepadaku dan berkata:
Anakku, rohani Gurumu itu tidak pernah sakit karena dia berasal dari Yang Maha Sehat dan akan terus mengalirkan syafaat serta terus menerus menyalurkan rahmat dan karunia Allah lewat dadanya, akan tetapi fisik Gurumu akan tunduk kepada Firman Afaqi sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Salah satu sifat dari Nabi adalah HARUS dia seperti manusia biasa. Kalau Nabi terkena api harus dirasakan panas seperti layaknya manusia begitu juga kalau nabi berjalan di tengah malam akan merasakan dingin. Begitu juga berlaku kepada wali-Nya, akan tunduk kepada hukum alam ini. Sifat HARUS seperti manusia itu juga salah satu cara Tuhan menyembunyikan Kekasih-Nya dari pandangan dunia ini. Junjungan kita Nabi Muhammad SAW berani dilempari kotoran unta dikarenakan orang kafir terhijab oleh hijab Insani”.
Aku hanya diam di sudut ranjang, menatap mata Guru yang amat aku sayangi dan setiap pertemuan aku dengan Guruku selalu aku rasakan hal baru yang sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Benar sekali apa yang dikemukan oleh para sufi bahwa bertemu dengan Guru Mursyid itu adalah satu karunia Allah yang sangat besar. Saat menatap mata Beliau seakan-akan ruhani ini terbawa melayang langsung ke Alam Rabbani. Salah satu hadab bertemu dengan Guru adalah tidak diperkenankan kita banyak berbicara dan baiknya hanya mendengar dan ketika ditanya oleh Guru haruslah menjawabnya dengan bahasa yang sopan dan dalam hati terlebih dahulu harus memperbanyak Istikhfar, memohon ampun kepada-Nya agar dalam mengucapkan kata-kata kepada Guru nanti tidak disusupi oleh nafsu dan setan.
Dalam hatiku kembali timbul pertanyaan, bukankah Guru bisa berdoa kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit ini? Sebagai Wali Allah tentu saja Beliau bisa mendengar suara hatiku, tiba-tiba guruku berkata, “Tidak seperti itu Sufimuda….
Pernahkah kau mendengar kisah tentang Nabi Ayyub?
Pernah Guru
Apa yang kau ketahui tentang Nabi Ayyub?
Nabi Ayyub adalah nabi yang paling banyak mengalami sakit, Guru” jawabku.
Kemudian Beliau dengan senyum berkata, “Nabi Ayyub, sakit-sakitan dia, kemudian dia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah sembuhkanlah penyakitku ini’, kemudian Allah berfirman, ‘Apa kau ucapkan Ayyub?’ nabi Ayyyub kembali mengulang do’anya: ‘tolong sembuhkanlah penyakitku ini’ dengan marah Tuhan berkata kepada Nabi Ayyub: ‘Hai Ayyub, sekali lagi kau berdo’a seperti itu aku tampar engkau nanti’ Kemudian dengan polosnya nabi Ayyub bertanya kepada Allah: ‘Ya Allah, berarti engkau senang kalau aku sakit?’ dengan tegas Allah menjawab: ‘Ya, Aku senang kau sakit’. Setelah Nabi Ayyub tahu Tuhan senang kalau dia sakit maka diapun dengan senang menjalani sakitnya itu. Setiap dia mau ambil wudhuk dia pindahkan ulat yang ada di badannya dan setelah selesai beribadah kembali diambil ulat tadi diletakkan di badannya sambil berkata kepadda ulat, ‘hai ulat, kembali kau kesini, Tuhan senang aku sakit’. Begitulah yang dialami nabi Ayyub, maka Gurumu ada persamaan seperti itu”.
Sambil minum segelas air putih kembali Beliau berkata kepadaku, “Aku sudah berjanji kepada Tuhan agar terus memuja-Nya dan berdakwah, makanya setiap aku cerita tentang Tuhan maka badanku terasa enak”.
Anakku….
Saya Guru…
Suatu saat nanti kau pasti tahu kenapa aku sakit, silahkan baca dan renungi 2 ayat terakhir dari surat at-Taubah, disana kau menemukan jawabannya. Bacalah Laqadjaakum dengan pelan dan mesra jangan seperti burung beo yang tidak pernah tahu makna dari ucapannya”.
Kemudian Beliau membacakan surat at-Taubah sambil menangis, “Laqadjaakum Rasulun min anfusikum, azizun alaihi ma anittum, harisun alaikum bil mukminina raufur rahim….
Aku merasakan dadaku bergemuruh dan berguncang hebat mendengar ayat yang Beliau bacakan. Serasa rontok dada ini, dan seluruh tubuh berguncang hebat, aku menangis dengan sejadi-jadinya. Apalagi Beliau membacakan arti ayat tersebut, “…. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin….
Sungguh lama aku tenggelam dalam tangisan sambil menatap wajah Guruku yang mulia. Firman Allah yang dibacakan oleh kekasih Allah sangat berbeda dengan ayat Allah yang dibacakan oleh pada umumnya orang. Benar seperti yang dikemukan oleh Para Syekh Besar bahwa apabila Wali-Nya membacakan ayat-Nya pastilah Dia hadir menyertai bacaan Kekasih-Nya.
Aku memangis menyesali diri yang selama ini hanya menjadi beban Guru, hanya bisa meminta tapi belum bisa memberi, hanya bisa membebani belum bisa berbhakti, hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli, hanya mengharapkan kasih sayang tanpa mau menyayangi.
Anakku….
Saya Guru…
Jangan pernah engkau patah semangat kalau melihat Gurumu seperti ini, seluruh dokter di dunia ini tidak akan bisa menyembuhkan sakitku ini. Tuhan ingin menunjukkan kebesaran-Nya. Dan Tuhan sekarang sedang bekerja ke arah sana. Yang kau lihat keramat dan gagah dalam nyata dan mimpimu itu bukanlah aku, tapi itu adalah pancarahan dari Nur Ilahi. Aku hanyalah seorang hamba yang tiada berdaya. Muridku….yang Hebat itu Tuhan saja
Kemudian Beliau membacakan surat Al-Mujaadilah ayat 21: “Kataballahu La Aghlibanna anaa wa rusulii, innallahaa qawiyum ‘azii zun (Allah telah menetapkan, bahwa tiada kamus kalah bagi Ku dan rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Gagah”.
Ketika aku berpamitan sambil mencium tangannya
Barulah aku tahu bahwa sakit seorang Wali itu bukan sakit biasa akan tetapi sakit karunia. Sakit menanggung beban dari orang-orang yang selalu bersamanya bahkan beban dunia ini. Seminggu kemudian Beliau sembuh, sehat wal afiat bahkan lebih sehat seperti sebelumnya.  (wallohu a'lam bish-showab)

Rabu, 28 April 2010

cerita cinta (bag 4)

SETELAH KAU MENIKAHIKU (bag 4)



Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi sayang semuanya sudah
terlambat. Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.

Cerita lalu:
Setelah Kau Menikahiku (Bagian I)
Setelah Kau Menikahiku (Bagian II)
Setelah Kau Menikahiku (Bagian III)

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku
melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa
seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku
mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan
bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok
di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan
ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam
kecil beri si teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air
terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.
Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut,
terhalangi seru mpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak
lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang
dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga
tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya
seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku
mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali
lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga a ku sulit
memisahkan kini dan saat itu.
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam
tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih
seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih
persis seperti yang kukenang. “Kau datang.”
“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku
dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak
pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada.
Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang
siapa pun juga.
Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian
terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.
“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya
getaran di suaraku membeberkan semuanya.
“Kau masih ingat.”
“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum.
“Kapan kau pulang?”
“Tadi pagi.”
“Dengan anak istrimu?”
Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.”
Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus
mengatakan apa.
“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,”
senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang pernah dan
mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan
aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.”

Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini
juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang
karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan
untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya
menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia
adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal
perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas.
Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang
semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada
lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki
sesemp urna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.
“Kau sendiri bagaimana, Ta?”
“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa
makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?
“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku
selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”
“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya
kalau dulu kukatakan “ya ”? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa?
Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.”
Matanya tertambat pada cincin di jari manisku. Suaranya pelan saat ia
bertanya, ”Kau sudah menikah?”
Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . “Siapa?” tanyanya lirih.
“Idan,” jawabku kaku.
“Idan? Irdansyah temanmu?”
“Sahabatku.”
“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”
Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.
Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap
kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah
kotak mungil dari sakunya.
“Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku se ndiri menganggap diriku gila,
karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti
ini, dibenakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun
segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku
terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko
barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta
izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.
“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.”

“Kau suka?”
Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. “ Kau….
Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar dengan susah
payah.
“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan
membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku
padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak
mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini.
Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak
famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.”
Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi
pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku
bahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam
hati. Tidak. Tidak .
Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di
Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan
wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan
Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka.
Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya
sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat,
sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu
kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mata
berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari
barang antik….”
Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara. “Maaf,” katanya sejenak
kemudian.
“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.
“Baiklah. Mau kuantar?”
“Aku ada mobil.”
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya
berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu
lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bisa
mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.”
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan
masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja
aku bisa mengucapkan ya.
Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup.
“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak
punya banyak teman di sini.”
“ Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai
kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.

Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya
ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku
menunggu.”
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti
gadis belia yang sedang m abuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan
seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa
membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua
harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah
kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya,
kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak
ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusud
ahi kapanpun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya akan
berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya?
Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya
mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga
tidak mungkin. Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau
lambat. Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya
kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?
Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian.
Aku memikirkanmu.
Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan
suaranya dari benakku?
Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi
bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri
. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar
kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di
galeri baru dekat kantorku.”
“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.”
Dan esok harinya kuhabis kan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan
benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa
memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,
membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama
Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba
bertanya.
“Kenapa kau menikah dengan Idan?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Seingatku, ia bukan tipemu.” Aku tertunduk.
“Kenapa, Ita?”
“Idan mencintaiku ,” bisikku pelan.
“Apa kau mencintainya.”

Kebisuanku memberinya jawaban.
“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.
Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”
“Jangan berbohong.”
“Idan suami yang baik.”
“Tapi apa kau bahagia?”
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu,
melewatkan waktu bersamanya?
“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”
“Setahun.”
“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena
terpaksa? Karena usia dan….”
“Stop.”
Aku bangkit dan meninggalkannya.
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah
kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu
pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air
mataku.
“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan.
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar
sebentar. Aku harus menelepon Idan.”
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku
tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah
mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati
dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya,
seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
“Idan.”
“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”
“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada
suamiku -- walaupun hanya simulasi -- bahwa aku sedang dirundung
kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak
berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi
sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku.
Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal
seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pa
ntas dan kejam untuk dilakukan.

“Ya?” desak Idan.
“Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?”
“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi
sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas
pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”
“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih
untuk tinggal dengan siapa.”
“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”
Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak
bisa menjawab.”
“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun
ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada
seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah
dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku
rasanya melesak ke dalam bumi.
“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan
kembali di telepon.
“Karena kau yang membuatkan kopi?”
“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan
pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan
keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga
harus diperhitungkan.”
“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa
perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya
itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka
benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang
keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka
inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan
pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan
lagi remaja yang masih hijau.”
“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak
pernah mencintai suaminya.”
“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”

“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak
mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau
jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk
meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena
merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya,
aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya
mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku mesti bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari
pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.
“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja,
Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi
mengurusi rumah tangga orang.”
“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan
terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih
untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia
berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak,
sebentar. Istri saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.  Bersambung......

Selasa, 27 April 2010

cerita cinta (bag 3)

SETELAH KAU MENIKAHIKU (BAG 3)

Bersambung ke bagian III
Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan
marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.
Cerita lalu:
Setelah Kau Menikahiku (Bagian I)
Setelah Kau Menikahiku (Bagian II)
Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku!
Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan
cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam
lagi.”
“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan
cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar
dan melar….”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia
terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri
t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri
ke ranjang, sesenggukan.Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut
sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama
sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku
terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat
memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi
memancing.Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena
kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada
pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku.
Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.
Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak
ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku
dari pintu kamar yang terkuak.
“Apa-apaan ini, Pit? ” tanyanya.
“Aku pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah
ini kau menyerah?”
“Ini di luar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”
Idan terdiam, menunduk.
“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah terlalu gemuk.” Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah,
”Tidak. Kau cantik.”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.”
“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”
“Kau gagal.”
“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil….”
“Simulasi.”
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar
terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan
menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari
kamarku,aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur
berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat
ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku
bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku
membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada
dibenakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air
hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa
hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya ,
air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut
kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
“Ayo pulang,” katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia
membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan
diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
“Ganti bajumu,” katanya.
“Semua bajuku di dalam kopor.”
“Ambil bajuku.”
“Tidak akan pernah!”
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata
berkobar,”Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,” desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan
nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet
penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa
keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke
rumah orang tuaku. Setel ah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku
terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku,
sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba ters
entak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah
membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari
tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api
dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya
matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dar i rumpun di
luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia
menghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku
bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa
pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang
paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku
berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali
belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya,
suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di
dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia
menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan
tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya
sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan
berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia
bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan
kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit.
Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Ka lau kau
sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa
obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri
saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk
untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku.
Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin
menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang
membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa
membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua
penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak
saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya
lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah
berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum ,
merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke
lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat
dan memasakkan omelet yang hanya ku cuil sedikit. Pijatannya di kakiku
terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia
mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan
televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak,
memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi
ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah . Kesabarannya merusak
segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya --
yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya --
yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa
bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri,
menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan
kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali
tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku
mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku
mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa
malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu.
Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya
tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang
menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan
membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku
ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan
pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk
menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan
benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan
ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan
pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak
memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah
menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat
menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan
bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar
mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke
kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan
bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang
baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu
cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis
karena terharu.
“Kau tidak ke kantor? ” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata
ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
“Ini hari Minggu, Pit.”
“Aku sudah sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.
“Ya,” Idan tersenyum. “ Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku
tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”
“Ibuku kan di sini.”
“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa
meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas
mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas.
“Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di
bangku cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak
gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Kau mau pergi memancing nanti sore?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau
kutangkapi terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada
mereka, ya.”
“ Terima kasih untuk apa?”
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,
batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmu
untukku hari ini.”
Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya
lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau
bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku
sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja
membatalkannya kan?”
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya
kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit
Nanti air jerukmu asin.”
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi
ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari
kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Aku
mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”
Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.
Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan
berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu
lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar.
Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan
untukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng
dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu.
Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang
berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah
membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku
berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam
suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut
wajahku yang tak berubah, menambah.
“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga
dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar
bahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan
kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu
seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum
pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa
mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah
kotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar
putih. Sesaat
jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika
kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu
di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan temantemanku
yang tak kenal ampun.  bersambung........

Minggu, 25 April 2010

cerita cinta (bag 2)

setelah kau menikahiku (bag 2)



Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci
dengan celanaku. Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah
membosankan. Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan
membosankan, koreksiku.


Sebulan pertama Upit berusaha mengerti kebiasaan Idan menghabiskan akhir
pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia protes, dan mereka
bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.


Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —-simulasi-— kulewatkan di
rumahku sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena
kondisi ibunya, yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin
karena ketegangan yang disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan
Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan
setelah seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan,
malam itu kami lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku
menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, seme ntara di atas meja
terhidang nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil membalik dadar
telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”
Ku cicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Pramuka,” komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas meja
dan ia duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor,
menjahit.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan
memperbaiki keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak
setiap pagi.”
“Apalagi aku . Kita perlu cari pembantu.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di
kamar berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?”
pintanya.“Aku punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah
permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya?
Tapi di lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya
jadi seorang istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya.
“Kalau kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin
merah. Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di
dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah
keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.

“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,”
lanjutnya. “Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang
terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang
terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku
sendiri dan tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana
kau kalau pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah
membaca gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak
punya hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih.
Dan ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu”
desisnya kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama
sekali tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan
Idan memburuk. Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan
akan semakin berang karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya
untuk bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemui ku di ruang
makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya , berniat untuk memperbaiki
situasi. “Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil mer aih
tangan kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya
kucoba. Oh, ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku.”
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan
berlalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
ku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang
kusinggahi suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk
memperoleh kesendirian dan sebagian untuk menghindari pertanyaanpertanyaan
yang pasti diberondongkan kawan-kawan yang biasa bersamaku
menghabiskan sore hari.

Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku
tahu Idan telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku
sungguh-sungguh ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang
istri, mesti kuakui bahwa aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai
suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang sahabat. Dan seorang sahabat
tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari
manisku selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam
permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya
wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya
satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan.
Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari
semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan.
Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marahmarah
dulu.
langkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul
setengah dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan
menggunakan berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu
mertuaku , kutelepon rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya,
tanpa hasil. Idan tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi
hingga pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku
minta izin pulang setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.
Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan
di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku
saat aku mengangkat receiver.
“Upit?”
“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”
“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku
pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai
meleleh di pipiku. “Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
“Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….”
Aku lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi
mobilnya. Entah sudah berapa lama ia di sana.

“Kau keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!”
teriakku kepadanya.
“Aku juga rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya
semakin perih melihat tawanya lagi.
“Di mana saja kau dua hari ini?”
“Di hotel kecil dekat kantor.”
Ia baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak
berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan
kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
“Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.
“Aku perlu baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”
Saat ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia
menyambung, ”Selain itu , aku khawatir karena kau sendirian di sini.”
Dan dadaku tiba-tiba terasa ngilu.
“Aku akan pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur.
Dikejar deadline.”
Ia berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi
mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
“Oke,” katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”
“Asal kau sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.
Paginya kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya
berserakan di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film
action —-genre yang paling tidak kuminati, dan sepak bola—- olahraga
yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannya
mengeluarkan pas ta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak
dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir
pekannya. Setiap Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk
bermain sepak bola dengan teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul
setengah empat, ia pergi memancing. Untukku yang selalu menghabiskan
waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain, dari satu
pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan acara
makan-ma kan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku
tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku
dengan sangat cepat akan mera sa jemu.
Sebulan pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mata
berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima
kesabaran kutandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air
minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak
memancing.
“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan
handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”
“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak
memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji
dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”
“Kau bisa mencobanya minggu depan.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,
” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku
bias memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di
tempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi
lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”
“Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas
ribu.”
“Oh, Tuhan!”
Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di
pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”
“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh
cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan
jalan-jalan.”
“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau
bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.” “Ini bukan
masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian?
Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”
“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan
sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku
benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,”
desisnya.
“Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama
ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku , apa
kau tidak bisa memberiku….”
“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar
bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan
malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan
waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar
dengan Pavarotti dan Flamingo.…”
“Placido Dom ingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai
menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh
dua orang memperebutkan satu bola kulit!”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu
yang becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakan!”
“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”
Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu
samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku.
Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan
suaminya?Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng,
tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak
mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan
semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah
menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali
sejak aku menikah —-simulasi—- dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku,
pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan
menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya
untukku ? Tidak!
Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku.
Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air
mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis
tanpa terasa.
Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi
dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt
dan celana jins.
“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,”
katanya.
“Aku tidak mau pergi ke mal.”
“Kau bilang tadi pagi….”
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena
alergimu kumat.”
“Upit, kalau kita tidak pergi se karang, kita bisa pulang terlalu sore.
Aku ada janji jam empat….”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang
kalau kau mau.”
“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”
Bersambung......

cerita cinta (1)



Setelah Kau Menikahiku (Bagian I)


Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk
membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi
pernikahan.
"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke
kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan
alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi
ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah
pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya
kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara
keuntungannya lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu
tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh
lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup
pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku
hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.
“Ah, ya. Calon.”
 “Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya, ” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku
kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?
Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia
menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak
penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang
salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik
hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa
tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka
memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka
berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi
roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai,
mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidaktidaknya
pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
 “Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.
Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara
kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum
mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi
sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa
ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang
waktu sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat
pasangan tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya
seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”
“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku
bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku
berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua,
aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri.
Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu,
plus bodyguard kalau perlu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalamdalam.
“Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan
menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”
Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi
yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang
lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan
untukku. Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi
kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”
“Bagaimana dengan keturunan?”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi,
kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.
Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka.
Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku
sendiri, mengambil risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada
kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang
hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku
akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan?
Untuk apa?”
Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”
“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan
imajinasi.”
“Imajinasi?”
“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci
sekaligus yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah
dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”

“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang
harus kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”
“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang
membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”
Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak menertawaimu. Kalau kau
benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah,
yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan
merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,
tertawalah. Tertawalah keras-keras.”
“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku perlu solusi,
Dan. Bukan ide-ide konyol.”
Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan
kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa
menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras
laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik
seriusku walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata
kelewat sinting dan karenanya teramat sangat kocak.
“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting,
jadi aku perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”
Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama
puluhan tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam
lelaki telah hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak
berganti. Ia seakan-akan selalu siap mengulurkan tangan menolongku,
sementara sense of humor-nya tak pernah gagal membantuku keluar dari
depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada satu laki-laki di dunia
yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan orangnya.
“Ya. Aku percaya kepadamu.”
“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk
kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat
terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”
“Idan! ” potongku tandas. “Ide apa?”
“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan
melakukan pernikahan.”
“Apa?”
“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan
semua formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”
“Bulan madu?”

Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi”. Sekali lagi,
simulasi. Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil
mempelajari kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu
berambisi untuk berumah tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa
yakin bahwa kerugiannya tidak sebanding dengan keuntungannya, kita
bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka selama-lamanya. Kalau
ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai dan kau bisa
cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes untuk
melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa
penalti. Bagaimana?”
“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”
“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan
mantap. “Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar
seperti apa pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh
menikah. Kau tidak mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku,
yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh
pendirian….”
“Serius, Idan, serius!”
“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apa pun.”
“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”
“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status
janda setelah kita bercerai.”
“Simulasi.”
“Idan!”
“Upit!”
“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.
“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di
matamu hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”
Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun
wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan
perempuan malang manapun yang mencintaimu.”
Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”
Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu
memang selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu
problem serius. Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya
tidak peduli dengan masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya
tampak begitu tulus.

“Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah,
denganku, orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat
kepada orang tua, ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut
wajahku, “ibumu akan sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”
Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta.
Di mana pun.”
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu.
Kalau saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu
kepadaku, aku pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum
menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung,
tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang warasnya dengan
Idan. “Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.
“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam -diam mengawasi,” matanya
kembali tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita
hanya berdua, kau bebas untuk meninjuku, menjambakku….”
“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan
tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud
dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa
ia terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya,
seperti aku yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu
Idan, walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia.
Seharusnya aku juga bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orangorang
lain. Tapi seharusnya aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat
seperti seorang ilmuwan yang teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi
melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan
lupa itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya
aneh, kedua matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak
setelah mencium jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang
nyaris putih. Lalu kami berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah
Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku
pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”
“Terlalu nervous?”
“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”
Aku tersenyum.  bersambung........

recent visitor

table> widgets