Selasa, 13 April 2010

DIKIT-DIKIT BID'AH

Membedah  bid’ah

APA DAN BAGAIMANA BID'AH ITU SEBENARNYA (1)




Ketika pada suatu kesempatan saya pernah di tanya oleh salah seorang peserta pengajian,
“Ustadz, ada yang bilang Yasinan dan Tahlil itu adalah bid’ah,lalu bagaimana kami menyikapinya?” maka saya menjawab,
“Persoalan yang Anda tanyakan sebenarnya merupakan persoalan lama yang selalu membaru (amrun qadîm mutajaddid –persoalan lama yang mencuat ke permukaan pada saat ini). Yang dituduh sebagai bid`ah sebenarnya tidak hanya Yasinan, tahlil, haul, Maulid nabi, Isra’ Mi’raj, dzikir berjamaah, berdzikir dengan lafal “Allah! Allah!”, bahkan tasawuf juga diklaim sebagai sesuatu yang bid’ah !
Tuduhan semacam itu pada dasarnya lahir dari kekurangpahaman para penuduh mengenai ruh dan tujuan syariat Islam (maqoosidut-tasyri'). Mereka biasanya hanya terpaku pada lahiriah nash (tekstual) tanpa mencoba memahami ruhnya atau melibatkan aspek-aspek lain yang terkait dengan persoalan ini.
Apapun itu, kita harus tetap menghargai pemahaman dan sikap diri mereka, dan tidak perlu terjerumus ke dalam khilafiah berkepanjangan yang hanya menghabiskan waktu dan energi tanpa manfaat sedikit pun.
Kepada Anda sendiri, kami menyampaikan penghargaan khusus karena Anda masih mau bertanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dimampukan Allah untuk mengamalkan firman-Nya, “Mendengarkan pendapat dan mengikuti yang terbaik dari pendapat itu,” (Al-Zumar, 39: 18) dan tidak terlibat dengan firman-Nya yang lain, “Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (Al-Najm, 53: 32).
Dalam kaitannya dengan pertanyaan di atas, terlebih dulu perlu dijelaskan bahwa dalil yang sering dikemukakan oleh saudara-saudara kita yang menuduh Yasinan, Tahlil bahkan hingga tasawuf—atau beberapa aktivitas keagamaan lainnya—sebagai bid`ah adalah hadis Nabi yang dikutip antara lain dalam Shahih Ibn Hibban (I/179) atau Sunan Abi Dawud (IV/200): “Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid`ah, dan setiap bid`ah adalah sesat (wa iyyâkum wa muhdatsâtil umûr fa inna kulla muhdatsin bid`atun wa kulla bid`atin dhalâlah).”
Untuk memahami hadis tersebut secara baik dan menerapkannya secara benar terhadap persoalan-persoalan konkret sangat penting dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata BID`AH.
Dari segi bahasa, bid`ah berasal dari kata bada`a yang dalam kamus Mukhtar al-Shihah (I/18) diartikan dengan ikhtara`a, sedangkan dalam Lisan al-`Arab (VIII/6) diartikan dengan ansya-a wa bada-a. Kedua makna yang ditunjukkan dalam dua kamus yang sangat terkenal ini pada dasarnya sama: ‘mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada’.  
Bahkan salah satu Asma-ul Husna menyebut Allah sebagai AL BADI’ ( artinya yang Maha Mengadakan sesuatu (creator) yang sebelumnya tidak ada) lihat dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah : 117
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.” (Q.S. 2:117)
Maka sesungguhnya selain daripada Allah SWT sendiri semuanya adalah BID’AH, karena semuanya baru dan bersifat diadakan, langit bumi, dan segala isinya termasuk manusia adalah Bid’ah.
Bid`ah memang berarti mengadakan atau menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Bid`ah adalah wujud konkret sebuah prakarsa, baik dalam masalah ibadah maupun dalam soal mu’amalah. Merintis suatu perbuatan, jalan atau cara, dalam kebaikan atau dalam keburukan, adalah bid`ah; tetapi merintis cara atau jalan baru yang dilakukan dalam rangka kebaikan dan pendekatan diri kepada Allah, sesungguhnya justru menjadi bagian penting dari ajaran agama.
Dalam kaitan ini, hadis Nabi berikut—sebuah hadis yang sangat populer karena dikutip dalam banyak kitab hadis—barangkali perlu disimak dengan seksama kandungan maknanya agar kita tidak terlalu sempit dalam memandang agama. Dalam hadis Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah), maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705, Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu Dawud dan Darimi).

Makna yang paling tepat untuk kata Arab sannayasunnu adalah “merintis” atau “membuat, meletakkan, atau melakukan sesuatu pertama kali” yang selanjutnya dapat dilakukan oleh orang lain. Makna ini dapat dipahami dari ungkapan Ibn Manzhur dalam Lisan al`Arab (XIII:/225): “Setiap orang yang memulai suatu perkara yang kemudian perkara itu dikerjakan oleh orang-orang sesudahnya, maka dikatakan, dialah orang yang ‘merintis’ perkara itu (kullu ma ibtada-a amran `amila bihî qawmun ba´dahû qîla huwal ladzî sannahû).”
Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan kata sunnah dalam hadis Nabi di atas adalah “jalan atau perkara baru yang dirintis”; dan perkara-perkara yang dirintis oleh seseorang (atau yang disebut dengan prakarsa) adakalanya baik sehingga disebut sunnah hasanah, dan adakalanya buruk sehingga disebut sunnah sayyi-ah, sebagaimana diisyaratkan oleh hadis di atas. Artinya, kata sunnah dalam kasus ini (bukan sunnah dalam pengertiannya sebagai perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi) sama maknanya dengan kata bid`ah.
Banyak ulama, seperti Imam al-Syafi’i, al-Qurthubi, dan yang lain-lain, membagi bid`ah menjadi dua: bid`ah hasanah ‘bid`ah yang baik’ atau bid`ah mahmudah ‘bid`ah yang terpuji’, dan bid`ah sayyiah ‘bid`ah yang buruk’ atau bid`ah madzmumah ‘bid`ah yang tercela’, sebagaimana halnya sunnah dalam pengertian ini dibagi menjadi dua, yaitu sunnah hasanah dan sunnah sayyiah. Bid`ah yang sesuai, sejalan, atau selaras dengan sunnah Nabi maka ia adalah bid`ah yang baik (hasanah), dan bid`ah yang menyalahi, menyimpang, atau bertentangan dengan sunnah Nabi maka ia bid`ah yang buruk (sayyiah).
Imam al-Nawawi, penulis Syarah Shahih Muslim yang sangat terkenal bahkan mengatakan hal yang senada dengan hadis “man sanna sunnatan hasanah …” tetapi beliau menggunakan kata yang seakar dengan kata bid`ah di dalam kitab itu: “Setiap orang yang ‘menciptakan’ (ibtada`a) suatu amal keburukan, maka dia ikut menanggung dosa yang sama dengan dosa orang yang mengikutinya dalam amal itu hingga hari kiamat; dan setiap orang yang ‘menciptakan’ (ibtada`a) suatu amal kebaikan, maka dia memperoleh pahala yang sama dengan pahala orang yang melakukan amal itu hingga hari kiamat.” (Syarh al-Nawawi `ala Shahîh Muslim, XI: 166).
Bagi orang-orang yang memahami bahasa Arab, sebenarnya tidak diperlukan lagi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kata ibtada`a yang digunakan Imam al-Nawawi dalam ungkapan di atas; ibtada`a artinya “berbuat bid`ah” atau “menciptakan perkara baru yang sebelumnya tidak ada”.
Jadi, yang dimaksud dengan bid`ah sesat yang diungkapkan oleh Nabi dalam hadis bid`ah di atas tiada lain adalah “setiap jalan buruk yang dirintis, atau setiap prakarsa atau perkara baru yang buruk”; yaitu yang bertentangan dengan ketentuan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah.
Satu hal lagi yang perlu dijelaskan dalam kaitannya dengan hadis bid`ah di atas adalah lafal kull (setiap atau semua) dalam ungkapan kullu bid`atin (setiap bid`ah).
Kata kull dalam hadis bid`ah di atas bersifat umum tetapi mengandung pengertian khusus, yaitu terbatas pada pengertian “setiap bid`ah yang bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah”.
Penggunaan kata kull semacam ini seringkali muncul dalam nash-nash, baik al-Quran maupun al-Hadis. Satu contoh ayat yang dapat ditampilkan di sini adalah firman Tuhan, “(Angin taufan itu) menghancurkan segala sesuatu (kulla syay-in) atas perintah Tuhannya; maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat-tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang pendosa.” (Q.S. al-Ahqaf, 46: 25).
Kata kull dalam ayat di atas juga bersifat umum tetapi menunjuk pada kasus khusus, yaitu hanya pada “kaum Tsamud”, bukan yang lain. Kalau kata kull dalam ayat itu diterjemahkan secara harfiah, maka berarti bahwa yang dihancurkan oleh angin topan itu adalah semua yang ada di langit dan di bumi tanpa ada perkecualian, bahkan juga langit dan bumi itu sendiri, berikut dengan segala isinya; dan itu berarti kiamat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para sahabat juga melakukan bid`ah, seperti `Umar ibn al-Khaththâb yang memprakarsai salat tarawih berjamaah, dan beliau bahkan menyebutnya sebagai “sebaik-baik bid'ah adalah yang ini (ni´matil bid`atu hâdzihî).” (Shahîh al-Bukhârî, II: 707).
Mushaf al-Quran yang sedang kita baca saat ini pun sebenarnya juga hasil dari “perbuatan bid`ah”. Karena ha itu memang tidak pernah dilakukan pada waktu Rasulullah saw masih hidup.
Ingatlah jawaban Khalifah Abu Bakar ash-Sihddîq ketika didesak oleh `Umar agar segera mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang terserak. Beliau menolak dan berkata, “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah SAW (kayfa af`alu syay-an lam yaf`al rasûlullâh shallallâhu `alayhi wa sallam)?”—dengan kata lain: “Bagaimana mungkin aku melakukan bid'ah?”. 'Umar berkata, “Demi Allah, ini perbuatan yang baik.” Dan 'Umar terus mengulangi usulannya tentang pengumpulan al-Quran, sehingga Khalifah Abu Bakar setuju dan berlangsunglah “pengumpulan ayat-ayat al-Quran” yang “bid`ah” itu. (Shahih al-Bukhari, IV: 1720).
Sekarang, apakah tasawuf itu dapat disebut bid`ah yang sesat-menyesatkan hanya karena istilah ini tidak pernah difirmankan Tuhan dan tidak pernah pula disabdakan oleh Nabi?
Jawaban atas pertanyaan ini terlalu panjang untuk diuraikan. Oleh karena itu, cukuplah bagi kita menyimak pendapat Syaykh al-Islâm Ibn Taymiyyah ketika menilai kaum sufi. Dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmû´ al-Fatâwâ (X/551) beliau menegaskan, “Ucapan pakar-pakar ilmu hati (ahl `ulûmil qulûb) dari kalangan Sufi seperti Abu Hamid al-Ghazali adalah paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling jauh dari bid`ah (ab`adu minal bid`ah).”
Hal itu tiada lain karena tasawuf pada dasarnya adalah ungkapan lain dari konsep ihsân, salah satu dari tiga konsep yang muncul dalam dialog Jibril-Nabi (îmân, islâm dan ihsân). Dalam buku Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya (94-95) Buya Hamka menegaskan “Ihsan adalah kunci daripada semuanya, yaitu: bahwa kita berabdi kepada Tuhan, seakan-akan Tuhan itu kita lihat di hadapan kita sendiri. Karena meskipun mata kita tidak dapat melihat Tuhan, namun Tuhan tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam Tasauf.”
Jadi, jelas sekali bahwa tasawuf (dan tharîqah sebagai pelaksanaan teknisnya) merupakan “inti dari ajaran Islam” atau—dalam istilah Sayyed Husein Nashr—the Heart of Islam “jantung Islam” meskipun nama tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu belum muncul pada masa Nabi SAW; pada masa itu tasawuf tampil sebagai “realitas tanpa nama” atau—merujuk kepada hadis—“realitas dengan nama ihsân”. Wallahu a´lam bi al-Shawâb    Bersambung……
.

2 komentar:

  1. Artikelna saepisan dalam arti singkat padat jelas dan berbobot

    BalasHapus
  2. segala puji milik Allah, semoga bermanfaat kiranya dan syukur jika dapat disebarluaskan

    BalasHapus

recent visitor

table> widgets